Kejari Sukabumi Dinilai Belum Maksimal Bongkar Kasus Mesin Tenun Fiktif, Transparansi dan Penindakan Masih Minim

newsberi | 18 Mei 2025, 05:57 am | 230 views

Sukabumi,Jawa Barat – Kasus dugaan korupsi pengadaan mesin tenun sutra fiktif di Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagin) Kabupaten Sukabumi memasuki babak baru dengan dilimpahkannya tiga tersangka ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Sukabumi. Namun, penanganan kejaksaan dalam perkara ini dinilai masih menyisakan tanda tanya besar, terutama soal transparansi peran tersangka, upaya pemulihan kerugian negara, dan pengembangan kasus ke aktor intelektual.

Ketiga tersangka yakni dua aparatur sipil negara (ASN) berinisial AR dan PS alias Vita, serta satu rekanan swasta berinisial AS, resmi diserahkan bersama barang bukti dari Satreskrim Polres Sukabumi ke Kejari Kabupaten Sukabumi pada Rabu (14/5/2025). Mereka diduga terlibat dalam pengadaan fiktif mesin tenun sutra dengan anggaran sebesar Rp 1,1 miliar, yang nyatanya tidak pernah mendatangkan barang.

“Kasusnya motifnya pengadaan mesin tenun sutra, tapi barangnya tidak ada. Nilai anggaran Rp 1,1 miliar, dan kerugian hasil audit BPKP sebesar Rp 180 juta,” ujar Kasi Pidsus Kejari Kabupaten Sukabumi, Agus Yuliana Indra Santoso kepada wartawan.

Namun hingga kini, Kejaksaan belum mengungkap secara detail peran masing-masing tersangka, padahal informasi ini sangat penting bagi publik dalam memahami skema kejahatan yang dilakukan. Ketiadaan pemaparan tersebut menimbulkan kesan bahwa penanganan kasus belum menyentuh secara menyeluruh hingga ke akar permasalahan.

Meski nilai kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp 180 juta, belum ada keterangan resmi dari Kejaksaan mengenai langkah pemulihan kerugian negara, baik berupa penyitaan aset tersangka, pembekuan rekening, ataupun upaya pengembalian dana ke kas negara. Padahal Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menekankan bahwa selain pidana badan, pelaku korupsi juga wajib mengganti kerugian negara.

Wakil Ketua LSM Rakyat Indonesia Berdaya Kabupaten Sukabumi, Dikdik, menilai penanganan tipikor oleh Kejari Sukabumi masih bersifat normatif dan belum menyentuh akar permasalahan yang lebih luas.

“Kejaksaan semestinya tidak hanya berhenti pada tiga nama. Harus ada upaya menelusuri siapa yang mengarahkan, siapa yang menyetujui, dan siapa yang membiarkan dana cair tanpa pengadaan. Kalau tidak, ini hanya formalitas hukum,” tegas Dikdik.

Dari hasil penyidikan polisi, terungkap bahwa modus para tersangka adalah melaksanakan proyek seolah-olah berjalan, padahal barang tidak pernah diadakan. Anehnya, proyek tersebut tetap dicairkan penuh dan dibayarkan kepada rekanan. Fakta ini mengindikasikan adanya kelemahan serius dalam sistem pengawasan dan pengendalian internal di lingkungan Pemkab Sukabumi.

Pihak Kejari belum menunjukkan indikasi akan menyasar pihak-pihak lain di luar tiga tersangka, seperti pejabat penanggung jawab kegiatan, kepala dinas, hingga auditor pengawas internal yang turut berperan dalam meloloskan proses pencairan anggaran.

Padahal berdasarkan data LPSE, proyek ini memiliki pagu anggaran Rp 1.144.000.000 dan dimenangkan oleh CV CK dengan nilai kontrak Rp 1.109.445.000, hanya berselisih tipis dengan HPS—suatu pola yang kerap ditemukan dalam kasus pengaturan tender.

“Kami cek, ternyata benar barangnya tidak ada. Kami lakukan penyelidikan, penyidikan, hingga menghitung kerugian negara,” kata Kanit Tipidkor Polres Sukabumi, Ipda Sidik Zaelani.

Publik menaruh harapan besar pada Kejari Kabupaten Sukabumi agar kasus ini tidak berhenti di eksekutor lapangan semata. Penelusuran harus dilakukan untuk mengungkap aktor intelektual di balik pengadaan fiktif ini. Tanpa itu, penegakan hukum berpotensi tidak menyentuh para pengambil keputusan sebenarnya.

Sebagai institusi penuntut umum, Kejaksaan semestinya bersikap progresif: membuka ruang pengembangan penyidikan, transparan kepada publik, serta memastikan negara tidak hanya menghukum, tetapi juga mengembalikan hak rakyat yang dirampas melalui korupsi.

Penulis: Ade Ridwan

Berita Terkait