Swakelola Beasiswa untuk Dokter Spesialis PNS Disorot Nopriansyah

newsberi | 24 Mei 2025, 01:31 am | 50 views

Muara Enim, Sumatera Selatan – Program beasiswa senilai Rp 1,52 miliar Tahun 2024 untuk 19  Dokter Pegawai Negeri Sipil (PNS) , penyelenggara Swakelola pada Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kabupaten Muaraenim Provinsi Sumatera Selatan, menuai kritik tajam dari berbagai pihak.

Nopriansyah, Ketua LSM Rakyat Indonesia Berdaya (RIB) DPC Kabupaten Muara Enim, menyuarakan kekhawatirannya akan potensi penyalahgunaan anggaran yang mengarah pada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme..(24/5/2025)

“Anggaran Rp 80 juta per orang ini sangat fantastis, namun rincian penggunaannya masih gelap. Ini menimbulkan kecurigaan adanya mark-up,” tegas Nopriansyah dalam keterangan persnya hari ini. Menurutnya, tanpa detail yang jelas mengenai biaya kuliah, hidup, perjalanan, dan durasi studi, sulit untuk memastikan apakah dana tersebut benar-benar sebanding dengan kebutuhan riil pendidikan dokter spesialis.

Nopriansyah menyoroti potensi penggelembungan anggaran sebagai salah satu modus korupsi. “Jika beasiswa ini hanya untuk pendidikan, angka Rp 80 juta per orang itu perlu dipertanyakan. Apalagi kalau nanti ada dana yang tidak terpakai atau dibayarkan ke lembaga yang tidak kredibel, itu jelas indikasi korupsi,” ujarnya.

Lebih lanjut, Nopriansyah juga mewanti-wanti adanya dana fiktif atau tidak tepat sasaran. “Pemerintah daerah harus memastikan bahwa 19 PNS ini benar-benar dokter dan benar-benar akan menempuh pendidikan spesialis. Jika tidak, maka dana yang dicairkan itu bisa dikategorikan fiktif dan merupakan penyimpangan anggaran yang serius,” tambahnya

Kolusi dan Nepotisme dalam Mekanisme Pemilihan

Kritik tajam juga dilayangkan Nopriansyah terhadap mekanisme pemilihan penerima beasiswa dan mitra kerja sama. “Meskipun swakelola, proses pemilihan perguruan tinggi atau penyedia akomodasi harus transparan. Kalau tidak, ada potensi kolusi di sana,” jelasnya.

Nopriansyah secara khusus menyoroti potensi nepotisme dalam pemilihan 19 Dokter PNS penerima beasiswa.

 “Jangan sampai beasiswa ini hanya diberikan kepada kerabat, kolega, atau orang-orang dekat pejabat tanpa melalui seleksi yang objektif dan akuntabel. 

Ini melanggar asas keadilan dan meritokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi dalam manajemen PNS,” tegasnya. 

Indikasi nepotisme bisa terlihat jika semua penerima berasal dari satu instansi yang dipimpin oleh orang dekat pejabat, atau jika kualifikasi akademik penerima tidak mendukung untuk program spesialis.

Penyimpangan Administratif dan Pelanggaran Regulasi

Nopriansyah juga menyoroti potensi penyimpangan administratif dan prosedural. “Ketiadaan laporan pertanggungjawaban (LPJ) penggunaan dana, atau laporan hasil pendidikan, adalah pelanggaran administratif yang serius. Ini bisa jadi celah untuk menutupi praktik korupsi,” katanya.

Ia menekankan bahwa pemberian beasiswa tugas belajar bagi PNS harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 “Ada banyak aturan yang mengatur ini, mulai dari Peraturan Presiden tentang Tugas Belajar, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, hingga Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) atau Badan Kepegawaian Negara (BKN) terkait pengembangan kompetensi. Jika beasiswa ini diberikan tanpa SK tugas belajar yang sah, tanpa izin belajar, atau tanpa prosedur penempatan kembali setelah studi, maka jelas ada pelanggaran regulasi,” urainya.

Melihat berbagai potensi penyimpangan tersebut, Nopriansyah mendesak agar Inspektorat Daerah dan BPKP segera melakukan audit khusus terhadap realisasi anggaran dan pemanfaatan beasiswa ini. “Perlu dilakukan verifikasi dan validasi menyeluruh terhadap identitas, kualifikasi, dan status pendidikan dari 19 penerima beasiswa. Pemerintah daerah juga harus segera membuka daftar penerima beasiswa dan perguruan tinggi tujuan secara transparan kepada publik. Ini demi menghindari dugaan penyimpangan dan membangun kepercayaan masyarakat,” tegasnya.

Terakhir, Nopriansyah menekankan pentingnya evaluasi kebijakan secara menyeluruh. “Pemerintah daerah harus mengevaluasi mekanisme pemberian beasiswa ini agar tidak lagi menjadi celah praktik KKN di masa depan. Anggaran negara harus digunakan seefisien dan seefektif mungkin untuk kepentingan rakyat, bukan untuk memperkaya oknum tertentu,” pungkasnya.

(Aliep)

 

Berita Terkait