LSM Rakyat Indonesia Berdaya Soroti Dugaan KKN Terstruktur di Dinas Ketahanan Pangan OKU Timur: Gerakan Merdeka Pangan Diduga Sarat Markup dan Pecah Paket

newsberi | 15 Juli 2025, 07:05 am | 229 views

OKU TIMUR – Sumatera Selatan | Ketua Perwakilan Sumatera Selatan LSM Rakyat Indonesia Berdaya, Harno Pangestoe, melontarkan kritik tajam terhadap pelaksanaan sejumlah paket pengadaan barang/jasa pada Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKU Timur) tahun anggaran 2024 yang bersumber dari APBD dan APBD Perubahan (APBDP). Ia menilai, proyek-proyek bernuansa “bantuan kepada masyarakat” tersebut justru diduga bermuatan praktik korupsi yang sistematis, mengarah pada markup harga, pemecahan paket pengadaan, kolusi penyedia, hingga berpotensi terjadi penyimpangan.

Total anggaran yang tercatat dari tiga kelompok besar pengadaan yakni Gerakan Merdeka Pangan, bantuan sarana hidroponik, dan alat olahan pangan, mencapai lebih dari Rp828 juta. Keseluruhannya menggunakan metode e-purchasing, dengan penunjukan penyedia dari katalog elektronik.

Dalam temuan LSM Rakyat Indonesia Berdaya, pengadaan dalam satu rumpun kegiatan seperti bantuan benih dan sarana pertanian justru dipecah menjadi puluhan kode MAK dengan nilai kecil-kecil antara Rp120 ribu hingga Rp20 juta. Harno menduga pola ini merupakan strategi sistematis untuk menghindari mekanisme tender umum.

“Kami menduga kuat terjadinya praktik spliting paket, satu pola lama yang digunakan untuk menunjuk penyedia tertentu secara langsung. Dipecah kecil-kecil agar bisa langsung tunjuk. Ini bentuk pelanggaran terhadap prinsip efisiensi dan transparansi dalam pengadaan barang/jasa,” kata Harno.

Praktik semacam ini, lanjutnya, melanggar Perpres 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan berpotensi menabrak Pasal 3 dan 12 huruf e Undang-Undang Tipikor karena mengandung unsur penyalahgunaan kewenangan.

LSM juga menyoroti pagu anggaran untuk sarana hidroponik sebesar Rp235 juta untuk 60 unit, setara Rp3,92 juta per unit. Menurut riset harga pasar, instalasi hidroponik sederhana hanya berkisar Rp800 ribu – Rp2 juta. Selisih harga hampir 100% ini diduga sebagai bentuk markup yang merugikan keuangan negara.

Hal serupa terjadi pada paket belanja bantuan alat olahan pangan dengan total Rp193 juta, di mana satu paket mencakup pembelian oven stainless, air fryer, vacuum sealer, dan peralatan lainnya yang spesifikasinya tidak jelas dan dikhawatirkan hanya formalitas.

“Kita pertanyakan efektivitas alat-alat ini dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai hanya jadi barang mati di gudang, atau lebih parahnya—tidak pernah diserahkan ke masyarakat penerima,” tegas Harno.

Metode E-Purchasing Rentan Kolusi
Seluruh paket dilakukan melalui e-purchasing, metode yang sering digunakan karena dianggap cepat dan transparan. Namun, Harno menilai sistem ini justru membuka ruang dominasi oleh penyedia tertentu, terlebih bila katalog tidak diperbaharui secara objektif.

“E-purchasing itu sering dijadikan tameng. Padahal dalam praktiknya penyedia dipilih yang itu-itu saja, sudah dikondisikan. Ini sangat rawan kolusi,” ujar Harno.

Menyikapi temuan ini, Harno Pangestoe menegaskan bahwa pihaknya akan segera mengajukan laporan resmi kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, BPK, dan BPKP, lengkap dengan bukti rincian pagu, kode anggaran, serta kajian hukum.

“Kami segera menyampaikan laporan sebagai bentuk peran serta masyarakat. Negara tidak boleh kalah oleh sindikat penguras APBD berkedok program bantuan,” ujar Harno.

Ia juga meminta BPK untuk melakukan audit investigatif terhadap seluruh program bantuan di Dinas Ketahanan Pangan OKU Timur, termasuk memastikan apakah realisasi kegiatan benar-benar sampai ke masyarakat.

LSM Rakyat Indonesia Berdaya mengajak masyarakat untuk aktif mengawasi setiap program bantuan yang diklaim disalurkan kepada kelompok tani, ibu rumah tangga, atau UMKM. Harno juga meminta media lokal dan nasional agar ikut serta mengawal dana rakyat yang rawan digelapkan.

“APBD adalah uang rakyat, bukan celengan pejabat. Jangan sampai program yang dibuat atas nama ‘merdeka pangan’ justru malah memperkaya oknum tertentu,” pungkasnya.

(Repani)

Berita Terkait