Pangkalpinang – Pengangkatan Staf Khusus (Stafsus) oleh Gubernur Bangka Belitung menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Salah satu suara keras datang dari Norman Suseno, Wakil Ketua Perwakilan LSM Rakyat Indonesia Berdaya, yang menyebut kebijakan tersebut sebagai pelanggaran hukum dan bentuk penyalahgunaan wewenang.
“Gubernur tidak punya dasar hukum untuk mengangkat Staf Khusus. Ini bukan wilayah wewenangnya, dan tindakan ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,” tegas Norman saat ditemui awak media pada (24/5/2025).
Menurut Norman, dalam UU Pemerintahan Daerah maupun Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, tidak ada satu pun pasal yang memberikan kewenangan kepada gubernur untuk menunjuk staf khusus seperti yang dilakukan Presiden di tingkat nasional.
“Apakah gubernur ini tidak paham hukum atau sengaja menabrak aturan demi kepentingan politik? Karena kalau merujuk pada sistem pemerintahan yang sah, tugas-tugas penasehatan sudah dijalankan oleh OPD, Sekda, dan pejabat struktural resmi,” lanjutnya.
Norman juga menilai pengangkatan stafsus yang tidak melalui mekanisme rekrutmen ASN atau tidak jelas status kepegawaiannya, berpotensi menimbulkan kerugian negara, karena penggunaan anggaran tanpa dasar hukum yang sah.
“Kalau stafsus digaji pakai APBD, itu namanya pemborosan dan penyalahgunaan anggaran publik. Kami akan minta BPK dan Ombudsman turun untuk mengaudit dan menyelidiki,” ujar Norman geram.
Ia menambahkan bahwa praktik semacam ini bisa membuka ruang intervensi non-struktural dan memicu konflik internal birokrasi. “Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi potensi maladministrasi dan korupsi terselubung.”
LSM Rakyat Indonesia Berdaya, lanjut Norman, akan segera melayangkan surat resmi ke Kemendagri dan Ombudsman RI untuk meminta pembatalan keputusan pengangkatan stafsus tersebut dan mendesak Gubernur Bangka Belitung bertanggung jawab secara hukum dan politik.
“Jabatan publik bukan milik pribadi. Jangan main-main dengan hukum. Jika tak segera dibatalkan, kami tidak segan menggugat ke PTUN dan menggalang aksi publik.”
(Yudi Aprizal)