Kabupaten Ogan Komering Ilir ,Sumatera Selatan – Dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif mulai mencuat di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Penyelewengan ini diduga melibatkan sejumlah pihak berkompeten yang memiliki kepentingan, sehingga dapat dikategorikan sebagai delik penyalahgunaan kewenangan dan kesempatan karena jabatan, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yang berdampak merugikan keuangan negara atau daerah. Demikian pernyataan yang disampaikan oleh Hipson Munandar, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Lembaga Swadaya Masyarakat (DPC LSM) Rakyat Indonesia Berdaya Kabupaten OKI.
Permasalahan Belanja Tambahan Penghasilan yang Tidak Sesuai
Permasalahan ini bermula dari realisasi belanja tambahan penghasilan pegawai di empat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kabupaten OKI yang tidak sesuai dengan ketentuan. Pemerintah Kabupaten OKI pada tahun 2022 menganggarkan belanja pegawai sebesar Rp838.553.682.667,00 dengan realisasi sebesar Rp782.532.334.157,00 atau 93,32%. Dari total realisasi tersebut, sebagian dialokasikan untuk tambahan penghasilan aparatur sipil negara (ASN) serta berdasarkan pertimbangan objektif daerah lainnya.
Namun, temuan dari Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) No. 38.B/LHP/XVIII.PLG/05/2022 menunjukkan adanya sejumlah penyimpangan dalam penetapan dan realisasi belanja tambahan penghasilan ini. Di antaranya adalah penetapan Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP) yang tidak memedomani Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 900-4700 Tahun 2020.
Penetapan Tambahan Penghasilan Tidak Sesuai Ketentuan
Sesuai dengan peraturan, pemberian tambahan penghasilan pegawai ASN harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Dalam Negeri setelah mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk beban kerja, prestasi kerja, kondisi kerja, tempat bertugas, serta kelangkaan profesi. Penginputan penjabaran tambahan penghasilan ini harus dilakukan melalui aplikasi SIMONA Kemendagri untuk mendapatkan validasi dari Biro Organisasi Tata Laksana (Ortala) Kemendagri.
Namun, dalam penelusuran terhadap penetapan Surat Keputusan (SK) TPP di Kabupaten OKI selama tahun 2022, ditemukan bahwa hanya dua SK yang diinput penjabarannya oleh Bagian Ortala OKI ke dalam aplikasi SIMONA. Lebih dari itu, penetapan SK TPP prestasi kerja yang tidak sesuai ketentuan, menyebabkan kelebihan pembayaran sebesar Rp5.832.303.581,00 dari Agustus hingga Desember 2022.
Penyimpangan Pembayaran Honorarium
Selain itu, terdapat juga penyimpangan dalam pembayaran honorarium pengadaan barang dan jasa serta honorarium Perangkat Unit Kerja Pengadaan Barang dan Jasa (UKPBJ) di Sekretariat Daerah. Realisasi belanja honorarium ini mencapai Rp1.323.000.000,00, namun pemeriksaan dokumen pendukung menunjukkan bahwa pembayaran ini tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020, yang mengatur besaran honorarium pejabat pengadaan barang/jasa.
Menurut Hipson Munandar, kondisi ini menunjukkan adanya indikasi bahwa penyimpangan yang terjadi di Kabupaten OKI bukanlah sebuah kebetulan, melainkan bagian dari tindakan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif. “Hal ini patut diduga melibatkan berbagai pihak berkompeten yang berkepentingan, sehingga mengakibatkan kerugian negara yang cukup besar,” tegas Hipson.
Kondisi Sistematis dan Dugaan Korupsi
Hipson menambahkan bahwa tindakan penyalahgunaan kewenangan ini dilakukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yang berakibat pada kerugian keuangan negara atau daerah. Dengan adanya temuan ini, BPK telah merekomendasikan Sekretaris Daerah untuk memformulasikan ulang kebijakan terkait TPP dan memastikan agar setiap pembayaran honorarium dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Dalam kondisi seperti ini, kita melihat adanya potensi korupsi yang dilakukan dengan cara-cara yang sangat terstruktur dan sistematis. Ini bukan hanya soal kesalahan administratif, tetapi ada indikasi kuat bahwa ini merupakan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara masif,” jelas Hipson.
Pentingnya Pengawasan dan Tindak Lanjut
Hipson Munandar menekankan bahwa temuan ini harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak, terutama penegak hukum, untuk menindaklanjuti dan melakukan penyelidikan lebih lanjut. “Kita tidak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja. Perlu ada upaya pengawasan yang lebih ketat dan tindakan tegas terhadap oknum-oknum yang terbukti terlibat dalam dugaan tindak pidana korupsi ini,” ujarnya.
Lebih lanjut, Hipson mengajak masyarakat untuk lebih aktif dalam mengawasi penggunaan anggaran negara di daerah mereka, guna mencegah terjadinya penyalahgunaan seperti ini di masa mendatang.
Dengan demikian, kasus dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan berbagai pihak di Kabupaten OKI ini diharapkan bisa segera diusut tuntas, dan mereka yang terlibat harus bertanggung jawab di hadapan hukum. “Kita harus memastikan bahwa keuangan negara digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu,” tutup Hipson Munandar.
(Harno Pangestoe)