OKI,Sumatera Selatan – Patut diduga bahwa permasalahan yang terjadi di lingkungan Dinas Perhubungan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) merupakan indikasi dari tindak pidana korupsi yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif. Hal ini bisa melibatkan berbagai pihak yang memiliki kewenangan dan kepentingan tertentu. Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) LSM Rakyat Indonesia Berdaya Kabupaten OKI, Hipson Munandar, menyampaikan kekhawatirannya terkait kondisi ini, yang dapat dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang serta kesempatan karena jabatan, dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yang pada akhirnya merugikan keuangan negara atau daerah.
Pertanggungjawaban Belanja Barang dan Jasa Tidak Sesuai Ketentuan
Pemerintah Kabupaten OKI melalui Dinas Perhubungan telah menganggarkan Belanja Barang dan Jasa sebesar Rp3.571.761.700,00 pada tahun anggaran 2022. Dari jumlah tersebut, terealisasi sebesar Rp3.158.767.251,00. Namun, pemeriksaan dokumen pertanggungjawaban menunjukkan adanya ketidaksesuaian penggunaan anggaran sebesar Rp291.243.000,00. Temuan ini mencakup sejumlah belanja yang tidak didukung oleh bukti pertanggungjawaban yang lengkap dan pembayaran yang tidak sesuai ketentuan.
Pembayaran Ganda dan Ketidaksesuaian Bukti Pertanggungjawaban
Dari total ketidaksesuaian tersebut, sebesar Rp226.188.000,00 berasal dari pembayaran ganda dan belanja yang tidak dilengkapi bukti pendukung yang memadai. Pemeriksaan terhadap Belanja Perjalanan Dinas, Belanja Jasa Pengamanan, Honor Pegawai Non-PNS, dan Belanja Pemeliharaan seperti pembelian bahan bakar minyak (BBM) menunjukkan bahwa bukti pendukung tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebagai contoh, untuk Belanja Perjalanan Dinas dan BBM, tidak ada dokumen pendukung seperti Surat Tugas, Surat Perjalanan Dinas (SPD), serta bukti belanja transportasi secara riil. Padahal, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 dan Peraturan Bupati terkait Standar Satuan Harga, belanja hanya dapat dibayarkan berdasarkan bukti pengeluaran yang riil.
Lebih jauh, Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2020 juga menetapkan bahwa perjalanan dinas dalam negeri yang berlangsung kurang dari delapan jam hanya mendapatkan pengganti transportasi lokal sebesar Rp150.000,00 per hari. Namun, meski tidak dilengkapi bukti perjalanan riil, para pelaksana tetap mendapatkan uang harian sebesar Rp150.000,00 per hari.
Hipson Munandar menegaskan bahwa pembayaran honor, perjalanan dinas, serta honor pegawai non-PNS yang dilakukan secara ganda ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang. Menurut Sekretaris Dinas dan Bendahara Dinas Perhubungan, kesalahan ini dilakukan sebagai upaya meningkatkan tambahan penghasilan pegawai non-PNS yang gajinya kecil. Namun, jelas bahwa tindakan ini tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ketidaksesuaian dengan Kondisi Sebenarnya
Sebesar Rp65.055.000,00 dari anggaran belanja barang habis pakai, belanja pemeliharaan, serta bukti transportasi juga ditemukan tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Pemeriksaan terhadap belanja barang habis pakai, seperti alat tulis kantor, alat komputer, pemeliharaan, dan perjalanan dinas menunjukkan bahwa bukti pembayaran yang dilampirkan bukan merupakan kuitansi asli yang dikeluarkan oleh penyedia barang atau jasa.
Hasil konfirmasi kepada penyedia alat tulis, alat komputer, bengkel, dan SPBU menyatakan bahwa kuitansi yang dilampirkan bukan berasal dari mereka. Menyikapi temuan ini, Sekretaris Dinas dan Bendahara Dinas Perhubungan menyatakan kesediaannya untuk menyetorkan kelebihan pembayaran tersebut ke kas daerah.
Keterlibatan Berbagai Pihak
Hipson Munandar menegaskan bahwa kondisi ini tidak bisa dipandang sebagai kesalahan administratif semata. Ada dugaan kuat bahwa tindak pidana korupsi dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif, melibatkan berbagai pihak yang memiliki kewenangan di Dinas Perhubungan Kabupaten OKI. Ia juga menyoroti adanya penyalahgunaan wewenang dan kesempatan yang dilakukan oleh para pejabat dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yang akhirnya merugikan keuangan negara atau daerah.
“Ini bukan sekadar kesalahan administrasi. Ada indikasi kuat bahwa ini adalah bagian dari tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan sangat terencana dan melibatkan banyak pihak. Kami di LSM Rakyat Indonesia Berdaya akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas, agar tidak ada lagi kerugian yang ditanggung oleh masyarakat,” tegas Hipson Munandar.
Ia berharap agar pihak berwenang dapat mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku yang terlibat, dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan yang bersih dan transparan.
(Harno )