
Sukabumi,Jawa Barat – Pengadaan Interactive Board 75 inci berbasis Windows untuk 31 Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Sukabumi tahun anggaran 2024 diduga kuat sarat dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Hal ini diungkap oleh Lutfi Imanullah, Sekretaris DPC LSM Rakyat Indonesia Berdaya Kabupaten Sukabumi, dalam laporan investigatif yang dirilis kepada media pada (15/5/2025).
Lutfi menyoroti sejumlah kejanggalan dalam proyek yang dijalankan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi dengan total pagu anggaran mencapai Rp6,6 miliar tersebut.
Menurut Lutfi, harga satuan Interactive Board yang dianggarkan sebesar Rp213 juta per unit sangat tidak wajar. “Setelah kami lakukan pengecekan terhadap produk sejenis di e-Katalog LKPP dan distributor resmi, harga pasar hanya berkisar Rp80 juta hingga Rp110 juta. Maka diduga ada potensi markup hingga Rp113 juta per unit,” ujarnya.
Dengan jumlah pengadaan sebanyak 31 unit, diduga potensi kerugian negara akibat markup ditaksir mencapai lebih dari Rp3,5 miliar.
Selain soal harga, Lutfi juga menyoroti tidak jelasnya spesifikasi teknis dalam dokumen pengadaan. “Dalam RUP hanya tertulis ‘Touchscreen 75” OS Windows’ tanpa menyebutkan merek, resolusi, panel, software, atau aksesori. Ini sangat rawan disalahgunakan karena tidak ada standar kualitas yang bisa diaudit,” jelasnya.
Lebih lanjut, Lutfi menilai adanya ketidakwajaran dalam jadwal pengadaan. “Dalam RUP disebutkan kontrak dimulai pada 9 Februari 2024, sementara pengumuman paket baru muncul 4 Maret 2024. Artinya, kontrak lebih dulu dibuat sebelum paket diumumkan. Ini jelas melanggar prinsip keterbukaan dan transparansi dalam pengadaan barang dan jasa,” tegasnya.
Proyek ini juga memanfaatkan dua sumber dana dari APBD Kabupaten Sukabumi, yakni Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Insentif Daerah (DID). Lutfi mempertanyakan keabsahan alokasi dana ganda dalam satu paket pengadaan. “Kami menduga adanya tumpang tindih anggaran atau pemanfaatan yang tidak sesuai peruntukan,” tambahnya.
Lutfi pun mengkritik metode pemilihan penyedia melalui e-Purchasing yang dinilainya tidak transparan. “Kalau hanya satu penyedia yang dijadikan rujukan tanpa perbandingan harga dari vendor lain, maka itu bukan e-purchasing sehat, tapi pengondisian. Ini membuka ruang kolusi dan nepotisme,” katanya
LSM Rakyat Indonesia Berdaya menilai bahwa dugaan praktik ini telah melanggar sejumlah regulasi, di antaranya UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan Peraturan LKPP No. 12 Tahun 2021 tentang E-Purchasing.
Lutfi Imanullah mendesak agar aparat pengawas internal pemerintah (APIP), Inspektorat Daerah, Kejaksaan Negeri Kabupaten Sukabumi serta lembaga seperti BPKP, Ombudsman, dan bahkan KPK turun tangan untuk mengusut tuntas kasus ini.
“Kami tidak ingin anggaran pendidikan yang seharusnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, justru dijadikan ladang bancakan oknum. Harus ada audit investigatif dan pembukaan data kontrak secara transparan,” tandasnya.
Lutfi menegaskan bahwa pihaknya akan mengawal kasus ini hingga tuntas. “Kami telah mengumpulkan dokumen dan bukti awal, dan siap membawa laporan ini ke ranah hukum jika tidak ada langkah korektif dari pemerintah daerah,” pungkasnya.
(Ade Ridwan)