Dermaga Rp4, Miliar Lebih, Rusak Sebelum Setahun: Lutfi Imanullah Soroti Dugaan KKN dan Manipulasi Proyek Dinas Perhubungan Sukabumi

newsberi | 30 Juni 2025, 02:44 am | 597 views

Sukabumi, Jawa Barat – Pembangunan dermaga apung di Buniasih, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, menuai sorotan tajam publik. Proyek senilai Rp4.810.000.000 yang bersumber dari Bantuan Keuangan Khusus (BKK) Pemerintah Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran 2023 melalui Dinas Perhubungan Kabupaten Sukabumi ini, dilaporkan mengalami kerusakan parah meski belum genap setahun rampung dibangun.

Dermaga apung sepanjang 34,5 meter dan lebar 3 meter tersebut awalnya dirancang untuk mendukung aktivitas nelayan yang selama ini hanya mengandalkan dermaga darurat bekas tambang. Namun, bangunan baru tersebut kini dilaporkan rusak akibat terjangan luapan sungai dan gelombang laut, sehingga menimbulkan pertanyaan serius mengenai kualitas konstruksi dan transparansi penggunaan anggaran.

Kondisi ini mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk dari Lutfi Imanullah, Sekretaris LSM Rakyat Indonesia Berdaya Kabupaten Sukabumi. Ia menilai proyek ini sarat dengan indikasi penyimpangan.

“Ini jelas bukan sekadar kegagalan teknis atau salah perencanaan. Ini potret nyata pemborosan anggaran publik yang diduga kuat dikendalikan oleh praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN),” tegas Lutfi.

Lutfi mempertanyakan penggunaan metode e-purchasing dalam proyek konstruksi ini. Padahal, metode tersebut lazimnya digunakan untuk pengadaan barang/jasa standar, bukan untuk proyek infrastruktur skala besar di wilayah berisiko tinggi.

“Metode e-purchasing dalam proyek seperti ini sangat tidak tepat. Proyek dermaga seharusnya melalui tahapan perencanaan teknis yang matang, lelang terbuka, dan kajian lingkungan menyeluruh. Dugaan kuatnya: metode ini sengaja dipilih agar proyek jatuh ke penyedia tertentu tanpa kompetisi,” ujarnya.

Lebih jauh, Lutfi menyoroti biaya proyek yang dinilai janggal. Dengan anggaran hampir Rp4,81 miliar, estimasi biaya per meter persegi mencapai sekitar Rp46 juta—dua kali lipat lebih tinggi dari standar umum dermaga apung serupa di pasaran yang berkisar Rp15–25 juta per meter persegi.

“Jika biayanya setinggi itu, seharusnya dermaga bisa bertahan bertahun-tahun bahkan menghadapi cuaca ekstrem. Tapi ini rusak hanya dalam hitungan bulan. Ini mengindikasikan kualitas sangat buruk dan dugaan mark-up sangat kuat,” lanjutnya.

Tidak hanya itu, Lutfi juga menyinggung indikasi manipulasi administratif. Data menunjukkan kontrak proyek dimulai April 2023, namun pengumuman paket baru muncul di sistem pada Juli 2023.

“Ini dugaan backdate dokumen. Kalau proyek sudah mulai tapi diumumkan belakangan, artinya proses pengadaan hanyalah formalitas. Ini pelanggaran serius yang harus diusut,” tegasnya.

Lutfi menambahkan bahwa proyek ini juga abai terhadap aspek keberlanjutan, termasuk kajian risiko terhadap lokasi pesisir dan muara sungai yang rawan abrasi dan banjir.

“Tidak ada mitigasi risiko, tidak ada adaptasi desain dengan kondisi geografis. Ini seperti proyek yang sengaja dirancang untuk gagal,” sindirnya.

Atas berbagai temuan dan kejanggalan tersebut, Lutfi menilai proyek dermaga ini berpotensi melanggar sejumlah regulasi, antara lain:

  • UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 3, 7, 9, dan 12)

  • Perpres No. 16 Tahun 2018 jo. Perpres No. 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

  • UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya tanggung jawab keuangan daerah

 

Sebagai bentuk kontrol sosial dan pertanggungjawaban publik, Lutfi Imanullah menyerukan:

  1. Agar BPK dan Inspektorat Sukabumi segera melakukan audit investigatif atas seluruh tahapan proyek dermaga, mulai dari perencanaan, pengadaan, hingga pelaksanaan.

  2. Kejaksaan Negeri Sukabumi diminta turun tangan melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap dugaan praktik KKN dan memanggil seluruh pihak yang terlibat di Dinas Perhubungan Kabupaten Sukabumi.

  3. Pemeriksaan menyeluruh terhadap dokumen proyek, termasuk kontrak, Harga Perkiraan Sendiri (HPS), gambar teknis, laporan kemajuan proyek, dan Berita Acara Serah Terima (BAST).

“Jika proyek sebesar ini rusak hanya dalam waktu singkat dan tidak ada yang bertanggung jawab, itu sama saja kita sedang melegalkan pembusukan birokrasi. Ini bukan sekadar proyek gagal, ini potensi kejahatan terhadap uang rakyat,” tutup Lutfi.

(hr)

Berita Terkait