
Melawi, Kalbar — Ketua Umum LSM Persatuan Ekonomi Rakyat Indonesia Bersatu (PERIB), Jefrri Saragih Turnip, S.E.,mengungkap adanya dugaan kuat praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) serta penyimpangan serius dalam proses pengadaan barang/jasa Tahun Anggaran 2024 di lingkungan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.
Berdasarkan dokumen RUP, tercatat total pagu sebesar Rp 1.434.500.050 yang bersumber dari APBD Melawi 2024. Namun, analisis atas dokumen tersebut mengungkap pola-pola pengadaan yang janggal, berulang, dan terindikasi kuat sebagai sarana pemborosan serta penyalahgunaan anggaran.
DUGAAN POLA KKN DAN PENYIMPANGAN
1. Pola Belanja Berulang: Indikasi Mark-Up dan Potensi Belanja Fiktif
Dalam banyak kegiatan, ditemukan pengadaan berulang untuk barang-barang kecil seperti kertas Sidu, pulpen Joyko, binder clip, cartridge printer, hingga jasa fotokopi dan baliho. Item yang sama muncul di lebih dari 20 kegiatan yang berbeda, meskipun sifat kegiatannya sangat serupa.
“Ini kuat indikasinya sebagai mark-up kuantitas atau bahkan belanja fiktif. Belanja kecil digunakan sebagai pintu masuk pencairan dana yang tidak berdampak langsung pada masyarakat,” ujar Jefrri.
2. Honorarium Ganda: Modus Lama, Aktor Lama
RUP mencantumkan honor untuk panitia, moderator, narasumber, pembawa acara, dan pelaksana dalam setiap kegiatan. Namun, pelaksana kegiatan tersebut berulang—umumnya pejabat struktural atau ASN yang sama.
“Kegiatannya dibuat banyak, SK dibagi-bagi, lalu diduga uang honor dibagi ke orang dalam. Kadang satu orang bisa terima honor dari beberapa kegiatan, padahal kegiatannya dilaksanakan serentak atau hanya formalitas,” jelasnya.
Modus ini masuk kategori penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri/orang lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.
3. Perjalanan Dinas yang Repetitif dan Tidak Masuk Akal
Terdapat pengulangan perjalanan dinas ke lokasi yang sama—seperti Pontianak dan beberapa kecamatan lain di Melawi—dengan jadwal yang berdekatan.
“Secara administratif sah, tapi substansi tidak ada. Ini adalah penggelembungan frekuensi kegiatan. Bukan tugas dinas, tapi wisata birokrasi berkedok dinas,” kata Jefrri.
4. Barang-Barang Tak Relevan: Belanja Asal-asalan
Blender, gayung, ember jumbo, snack, hingga sepatu boots muncul dalam daftar belanja kegiatan yang tidak memiliki relevansi langsung dengan output atau tujuan kegiatan.
“Blender dalam pelatihan pertanian? Ini dugaan belanja non-need based yang sering jadi celah untuk pengadaan fiktif atau pengalihan barang ke penggunaan pribadi,” ungkapnya.
5. Tanpa Output yang Terukur: Tidak Ada Value for Money
Seluruh daftar belanja dalam RUP hanya menampilkan jenis barang atau jasa, tanpa menyebutkan output, outcome, atau indikator manfaat.
“Kalau belanja negara tidak mengarah pada hasil yang bisa diukur, maka itu hanyalah formalitas untuk menghabiskan anggaran. Ini pelanggaran prinsip value for money,” tegasnya.
Metode e-purchasing yang digunakan pada sebagian pengadaan, semestinya menjamin efisiensi dan transparansi karena seluruh transaksi dilakukan melalui sistem e-katalog LKPP. Namun, dugaan penyimpangan juga terjadi di dalamnya:
Pemilihan Penyedia Tidak Objektif dan Indikasi pemilihan vendor e-katalog tertentu secara berulang—tanpa evaluasi komparatif—menunjukkan potensi pengaturan atau kolusi antara penyedia dan pejabat pengadaan.
Spesifikasi Barang Didesain untuk Vendor Tertentu dan Spesifikasi barang dan jasa dalam katalog terkadang ditulis secara sempit dan mengarah hanya pada satu penyedia.
Harga Barang Melebihi Harga Pasar (Mark-Up via E-Katalog)
Meskipun e-katalog memberi batas harga, banyak kasus harga yang digunakan tetap lebih tinggi dari harga pasaran, terutama untuk barang ATK dan bahan habis pakai.
“Jangan kira e-purchasing itu bebas korupsi. Korupsi gaya baru justru terjadi lewat sistem ini, ketika pejabat dan penyedia bermain di balik sistem yang tampak sah,” ujar Jefrri.
Dugaan Dasar Hukum yang dilanggar :
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
Pasal 2: Perbuatan yang merugikan keuangan negara
Pasal 3: Penyalahgunaan kewenangan untuk keuntungan pribadi/orang lain
UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN
Dugaan kolusi, benturan kepentingan, dan manipulasi wewenang
Perpres No. 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Melanggar prinsip transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas
Jefrri menyerukan agar Kejaksaan RI danjajaran segera menyelidiki seluruh kegiatan dalam dokumen RUP dan realisasi fisiknya.
PPK, KPA, dan Tim Perencana di Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian diperiksa intensif.
Penyedia barang/jasa yang terlibat dalam e-purchasing ditelusuri hubungannya dengan oknum dinas.
Inspektorat dan BPK melakukan audit investigatif menyeluruh.
“Hari ini, korupsi tidak lagi dilakukan secara sembunyi. Ia memakai dokumen resmi, memakai sistem e-katalog, dan berlindung di balik regulasi. Tapi hakikatnya: itu adalah perampokan uang rakyat,” tegas Jefrri.
“Jika ini tidak dibongkar, maka APBD hanya jadi ladang bancakan elit lokal,” pungkasnya.
(hr)