Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tunjangan DPRD OKI: Penyalahgunaan Wewenang yang Terstruktur, Sistematis, dan Massif

newsberi | 18 Agustus 2024, 03:37 am | 28 views

Ogan Komering Ilir – Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) LSM Rakyat Indonesia Berdaya Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Hipson Munandar, mengemukakan dugaan kuat adanya tindak pidana korupsi yang terjadi dalam proses penetapan dan pembayaran tunjangan transportasi serta tunjangan perumahan bagi anggota DPRD Kabupaten OKI. Dugaan tersebut mengarah pada tindakan korupsi yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif, melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan.

Hipson Munandar mengungkapkan bahwa indikasi tersebut dapat dikategorikan sebagai delik penyalahgunaan kewenangan dan kesempatan karena jabatan dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yang pada akhirnya merugikan keuangan negara dan daerah.

Permasalahan ini pertama kali terungkap melalui Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) No. 38.B/LHP/XVIII.PLG/05/2022, yang menunjukkan ketidaksesuaian dalam penetapan tunjangan transportasi dan perumahan bagi anggota DPRD OKI selama tahun anggaran 2022.

Ketidaksesuaian Penetapan Tunjangan Transportasi dan Perumahan

Pada tahun 2022, Pemerintah Kabupaten OKI menganggarkan belanja gaji dan tunjangan DPRD sebesar Rp35.996.275.501,00, dengan realisasi sebesar Rp31.252.137.662,00 atau 86,82% dari anggaran. Dari realisasi tersebut, Rp8.081.500.000,00 dialokasikan untuk tunjangan transportasi dan Rp10.345.950.000,00 untuk tunjangan perumahan. Namun, BPK menemukan sejumlah permasalahan dalam penetapan dan pembayaran tunjangan tersebut.

Pada tahun 2021, tunjangan transportasi anggota DPRD dinaikkan menjadi Rp19.600.000,00 per bulan, padahal Peraturan Bupati Nomor 18 Tahun 2020 menetapkan standar sewa kendaraan operasional pejabat hanya sebesar Rp13.500.000,00 per bulan. Kenaikan tunjangan transportasi tersebut dinilai tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Demikian pula dengan tunjangan perumahan, yang juga mengalami kenaikan pada tahun 2021 menjadi Rp22.500.000,00 per bulan dari sebelumnya Rp15.500.000,00 di tahun 2020. Kenaikan ini juga dianggap tidak sesuai dengan hasil survei pasar yang dilakukan oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) dan ditambah dengan biaya tambahan seperti gaji kebersihan, asisten rumah tangga, petugas keamanan, dan supir yang tidak sesuai ketentuan.

BPK menghitung bahwa ketidaksesuaian ini mengakibatkan pemborosan sebesar Rp5.946.000.000,00, dan merekomendasikan kepada Bupati OKI untuk menyesuaikan besaran tunjangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Masalah Berulang pada Tahun 2022

Meski telah ada rekomendasi dari BPK, pemeriksaan atas pembayaran tunjangan transportasi dan perumahan di tahun 2022 kembali menemukan permasalahan yang serupa. Penetapan tunjangan transportasi dan perumahan berdasarkan Kajian Akademik yang disusun oleh Universitas Bina Darma ternyata tidak memiliki dasar penetapan yang memadai dan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Dalam hal tunjangan transportasi, meski telah dilakukan penurunan dari Rp19.600.000,00 menjadi Rp14.500.000,00 per bulan, besaran tunjangan tersebut masih lebih tinggi dari standar yang ditetapkan, yaitu Rp13.500.000,00 per bulan. Akibatnya, terjadi kelebihan pembayaran sebesar Rp170.000.000,00 untuk periode Agustus hingga Desember 2022 kepada 40 anggota DPRD.

Sementara itu, dalam hal tunjangan perumahan, BPK menemukan bahwa tunjangan yang diberikan juga masih jauh lebih tinggi dari standar yang seharusnya. Berdasarkan hasil kajian ulang, tunjangan perumahan untuk Wakil Ketua DPRD seharusnya hanya sebesar Rp14.553.000,00 per bulan, dan untuk anggota DPRD sebesar Rp8.613.000,00 per bulan. Dengan demikian, terdapat kelebihan pembayaran sebesar Rp1.649.760.750,00 untuk periode yang sama.

Indikasi Dugaan Korupsi yang Terstruktur, Sistematis, dan Massif

Menurut Hipson Munandar, permasalahan ini tidak hanya sekedar ketidaksesuaian administratif, tetapi merupakan indikasi dugaan tindak pidana korupsi yang terstruktur, sistematis, dan massif. “Kondisi ini menunjukkan adanya penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan dengan sengaja oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan, dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yang berdampak pada kerugian keuangan negara dan daerah,” ungkap Hipson.

Ia menegaskan bahwa tindakan ini harus ditindaklanjuti secara hukum dan meminta agar pihak-pihak yang terlibat dalam penetapan dan pembayaran tunjangan tersebut diperiksa lebih lanjut. “Kami mendesak agar pihak berwenang segera melakukan investigasi menyeluruh dan membawa para pelaku tindak pidana ini ke pengadilan,” tegas Hipson.

Tuntutan Transparansi dan Akuntabilitas

Lebih lanjut, Hipson juga menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran daerah, khususnya dalam hal tunjangan pejabat. “Pemerintah daerah harus memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat dipertanggungjawabkan,” katanya.

Kasus ini menjadi peringatan bagi pemerintah daerah dan lembaga legislatif untuk lebih berhati-hati dalam mengelola keuangan negara. Hipson berharap agar permasalahan ini tidak terulang kembali di masa depan dan menjadi pembelajaran penting bagi semua pihak terkait.

Kasus dugaan korupsi tunjangan transportasi dan perumahan DPRD Kabupaten OKI ini mencerminkan pentingnya pengawasan dan penegakan hukum yang ketat dalam pengelolaan keuangan negara. LSM Rakyat Indonesia Berdaya Kabupaten OKI di bawah pimpinan Hipson Munandar terus berkomitmen untuk mengawal kasus ini hingga tuntas dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan demi kepentingan rakyat.

(Harno Pangestoe)

Berita Terkait